Anyir patgulipat bansos dana desa di Karang Anyar
S—inisial warga Desa Karang Anyar, Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten—masih ingat betul dirinya pernah menerima bantuan langsung tunai (BLT) dari dana desa pada masa awal pandemi Covid-19. Jumlahnya Rp600 ribu.
Akan tetapi, S tidak ingat persis kapan dia menerima BLT tersebut. Yang pasti, bantuan itu cuma sekali ia rasakan. Setelah itu, BLT dari dana desa untuknya mendadak disetop.
“(BLT dana desa) dialihkan ke kakak (saya), tapi kakak juga enggak dapat. Enggak tahu ke mana itu (BLT-nya),” ucap S saat ditemui Alinea.id di kediamannya di Desa Karang Anyar, Tangerang, Kamis (10/11).
S sempat menanyakan kepada perangkat desa perihal penghentian BLT untuk dirinya. Ia mendapat informasi namanya dihapus dari dari daftar penerima BLT dana desa lantaran S telah terdaftar sebagai penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial (Kemensos).
Ketika itu, S tak ambil pusing. Pasalnya, BLT untuknya direncanakan bakal dialihkan kepada sang kakak. Namun, S kecele. Duit BLT ternyata tak pernah sampai di tangan sang kakak. “Kakak saya juga enggak dapat penjelasan (kenapa enggak dapat BLT),” ungkap S.
Penjelasan S dibenarkan oleh kakaknya, M, yang ketika itu berada di rumah S. Menurut M, ia tak pernah sekalipun menerima BLT dana desa. Padahal, sudah ada "pengumuman" dari desa perihal peralihan BLT dana desa dari S kepada dirinya.
L, juga warga Desa Karang Anyar, nasibnya agak mujur. Dia mengatakan, pada awal pandemi Covid-19 mendapatkan BLT dana desa sebesar Rp900 ribu. Uang segitu diterima per tiga bulan. Artinya, per bulan BLT yang diterima adalah Rp300 ribu.
Sama seperti S, L juga lupa kapan persisnya menerima bantuan tersebut. Dia hanya ingat kalau BLT diterima tidak lama saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Namun, dia masih ingat jika BLT tersebut diterima sebanyak tiga kali.
“Pokoknya, dapatnya Rp900 ribu (untuk) tiga bulan. Terus tiga bulan kemudian dapat lagi,” jelas L ketika Alinea.id di kediamannya di Karang Anyar, Tangerang, Kamis (10/11).
Saat pagebluk berlangsung, L menegaskan ia hanya mendapatkan BLT dari dana desa selama 9 bulan. Bantuan seperti PKH dari Kemensos atau bansos dari instansi pemerintah lainnya tidak pernah ia rasakan.
L pernah menanyakan perihal penghentian BLT-nya. Namun, dia tidak mendapatkan informasi yang memuaskan.
“Kata (Ketua) RT enggak ada datanya. Lha, saya kan warga sini. Masa enggak ada datanya?” ucap L. Dia mengaku tidak tahu juga apakah BLT dirinya dialihkan ke orang lain atau tidak.
Berdasarkan data yang diterima Alinea.id, total warga Desa Karang Anyar yang terdaftar menerima BLT desa pada 2020 adalah 253 orang. Nama S, M, dan L tercantum di dalam dokumen itu. Selain daftar nama penerima, data tersebut juga memuat besaran bantuan Rp600 ribu yang diberikan pada 30-31 Mei 2021.
Sumber Alinea.id yang pernah menjadi perangkat desa di Kantor Desa Karang Anyar membenarkan data tersebut. Dia menjelaskan BLT dari dana desa yang seharusnya disalurkan kepada warga per tiga bulan sebesar Rp1,8 juta.
“Itu dirapel (dikasihnya) buat tiga bulan. (Jadi) dicairkan Rp1,8 juta,” katanya ketika ditemui Alinea.id, Kamis (10/11). Saat pembagian BLT dari dana desa, sumber Alinea.id masih bekerja di kantor Desa Karang Anyar.
Tiga bulan pertama yang dimaksud sang sumber adalah Maret, April, dan Mei 2020. Sejak Juni hingga bulan-bulan berikutnya, BLT desa berkurang menjadi Rp300 ribu per bulan. Selain jumlahnya yang berkurang, sumber Alinea.id menyebut ada beragam kejanggalan lain dalam penyaluran BLT dana desa di Karang Anyar.
Salah satunya ialah jumlah penerima. Pada 2020, BLT dana desa dianggarkan untuk 253 warga. Akan tetapi, jumlah penerima bantuan itu di lapangan hanya kisaran 96-98 orang. Pada 2021, jumlah penerimanya sebanyak 112 warga. Akan tetapi, anggarannya tetap untuk 253 warga.
“Dia (warga) enggak menerima duit. Namanya ada (di daftar), tapi enggak dikasih surat panggilan (untuk menerima BLT desa). Itu sudah dipisahin sama kades (kepala desa),” jelasnya.
Alinea.id juga mendapatkan dokumen penerima BLT dana desa Karang Anyar pada 2021. Nama L dan M ada di dalam daftar, sementara S tidak. “Sampai akhir (pembagian BLT desa) itu 253 (penerima) yang dilaporkan,” ujar sumber Alinea.id.
Seingat dia, BLT dana desa dihentikan pada Juni 2021. Sang sumber mengaku pernah bertanya kepada kades mengenai lanjutan pembagian BLT kepada warga. Kala itu, sang kades mengatakan bantuan akan diberikan secara door to door.
Lazimnya, saat pembagian BLT dana desa, warga yang menerima membubuhkan tanda tangan. Ihwal itu, sang sumber mengatakan ada tindakan pemalsuan. “Dijiplakin semua (tanda tangannya),” kata dia.
Sang sumber menduga ada korupsi dalam pembagian BLT desa. Namun, besaran duit yang diterka ditilep masih samar. Ia juga tak tahu persis siapa saja yang bermain dalam patgulipat BLT dana desa itu.
Kades Karang Anyar, Suhendri membenarkan adanya BLT yang disalurkan kepada warga dari anggaran dana desa. Dia mengatakan, kebijakan tersebut sudah berlangsung sejak 2020. BLT desa masih berlanjut sampai 2022.
“Tahun ini, kita anggarkan satu tahun penuh selama 12 bulan,” ujar Suhendri saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (12/11).
Jumlah penerima tahun ini, kata Suhendri, sebanyak 143 orang. Berbeda dengan BLT dana desa pada 2020-2021, penyaluran kali ini bakal dilakukan via transfer ke rekening penerima.
Besaran BLT dana desa, lanjut Suhendri, tentatif dari tahun ke tahun. Pada 2020-2021, dia mengatakan jumlahnya pernah sebesar Rp600 ribu dan Rp300 ribu per bulan.
Saat dikonfirmasi mengenai penerima BLT desa yang berjumlah 253 warga, Suhendri membenarkannya. “Itu betul. Itu di tahun pertama (2020). Terus di tahun kedua (2021) berubah lagi, di tahun ketiga (2022) berubah lagi. Karena tadi, kebijakannya mengikuti kondisional anggaran,” jelasnya.
Namun, saat ditanya soal jumlah penerima yang maksimal hanya 98 warga pada 2020 dan 112 orang di 2021, Suhendri membantahnya. Ia berkilah informasi itu tidak benar. "Informasi itu enggak akurat,” ucapnya.
Rawan dikorupsi
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan BLT dana desa rawan dikorupsi. Salah satu celah korupsi ialah pendataan penerima bantuan yang tidak dilakukan secara partisipatif. Pasalnya, data penerima bantuan umumnya disusun oleh perangkat desa.
“Dari sisi akuntabilitasnya, pelaporannya itu juga pelaporan yang cukup tertutup. Hanya mereka-mereka (perangkat desa) saja yang tahu. Jadi, risiko korupsinya sangat besar sebetulnya di dalam proses distribusi BLT yang menggunakan dana desa,” jelas Agus kepada Alinea.id, Sabtu (12/11).
Sejak 2015 hinggga 2021, pemerintah telah menggelontorkan dana desa mencapai Rp400,1 triliun. Kabupaten Tangerang mendapatkan dana desa Rp294,1 miliar pada 2020 dan Rp301,2 miliar pada 2021.
Tak hanya seperti yang ditengarai terjadi di Karang Anyar, Agus menduga BLT dari dana desa jadi bancakan di desa-desa lainnya. "Apalagi, pertanggungjawabannya cuma sebatas tanda tangan doang. Itu kan masih sangat mungkin dipalsukan secara teknis,” kata dia.
Problem lainnya, lanjut Agus, ialah lemahnya pengawasan. Kecamatan dan kabupaten biasanya berdalih tak mengecek laporan karena jumlah desa yang banyak dan keterbatasan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP).
“Kalau sudah tahu APIP-nya terbatas, seharusnya kan dibikin peraturan yang lebih teknis. Masyarakat seharusnya boleh mengawasi, masyarakat dianjurkan untuk mengawasi, masyarakat dilibatkan untuk melakukan pengawasan,” katanya.
Korupsi di tingkat desa, menurut Agus, erat korelasinya dengan biaya politik. Untuk menjadi kades, seseorang harus mengeluarkan modal politik yang cukup banyak. Walhasil, banyak kades korupsi untuk mengembalikan modal yang telah keluar.
“Logika pedagang, ‘Saya mengeluarkan modal, saya harus cari untung dong.’ Nah, cari untung yang paling cepat kebetulan pandemi. Kebetulan regulasinya dilonggarkan, dana desa boleh digunakan untuk BLT, ya, sudah main tulis saja (nama penerima),” ujarnya.
Pelaksana tugas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati Kuding mengatakan pengelolaan keuangan desa telah ditetapkan jadi satu dari delapan area intervensi yang menjadi fokus KPK dalam pengawasan untuk pencegahan korupsi. Kepada pemerintah daerah (pemda), KPK telah menyampaikan tiga indikator perbaikan sistem pengawasan dana desa.
“Meliputi aspek regulasi, publikasi, dan pengawasan. Ketiga aspek tersebut dijabarkan menjadi lima sub indikator. Terkait aspek regulasi, KPK mendorong agar pemda menyusun regulasi pengelolaan keuangan desa,” ujar Ipi kepada Alinea.id, Jumat (11/10).
Dari 601 kasus rasuah dana desa sepanjang 2012-2021, KPK mencatat ada 686 kades yang terjerat. Berbasis kajian terkait dana desa yang dimulai sejak 2015, KPK menemukan 14 potensi persoalan yang meliputi empat aspek, regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia
Sebagai solusi meminimalisasi potensi korupsi, KPK telah meluncurkan program Desa Antikorupsi pada Desember 2021. Program itu digelar untuk memberdayakan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan anggaran desa, termasuk di antaranya penyaluran dana desa.
“KPK berharap dengan sistem yang baik dan sumber daya manusia yang terlatih, serta peran serta aktif masyarakat desa dalam mengawasi, maka pemanfaatan keuangan desa dapat dipertanggungjawabkan dan mempersempit risiko korupsi,” kata dia.